Perkembangan paradigma sosiologi di era kontemporer
A. Pengantar
Dalam buku
sosiologi ilmu pengetahuan berpadigma ganda yang di cetuskan oleh George Ritzer pada cetakan ke-10, 2013, mengatakan ada tiga paradigma dalam sosiologi yakni, paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Seiring dengan perkembangan zaman, di era kontemporer ini, ilmu pengetahuan termaksud sosiologi mengalami perkembangan yang sangat pesat khususnya pada bidang paradigma. Tidak di pungkiri lagi, sosiologi sebagai lmu pengetahuan sosial, ikut mengalami perkembangan paradigma di era kontemporer, pasalnya, George Ritzert pernah mengatakan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki banyak paradigma (Multiple paradigma). Dengan demikian, argumen tersebut perlu di tinjau kembali, pasalnya, sosiologi benar-benar mengalami perkembangan yang sangat cepat khususnya pada bidang paradigma.

sosiologi ilmu pengetahuan berpadigma ganda yang di cetuskan oleh George Ritzer pada cetakan ke-10, 2013, mengatakan ada tiga paradigma dalam sosiologi yakni, paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Seiring dengan perkembangan zaman, di era kontemporer ini, ilmu pengetahuan termaksud sosiologi mengalami perkembangan yang sangat pesat khususnya pada bidang paradigma. Tidak di pungkiri lagi, sosiologi sebagai lmu pengetahuan sosial, ikut mengalami perkembangan paradigma di era kontemporer, pasalnya, George Ritzert pernah mengatakan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki banyak paradigma (Multiple paradigma). Dengan demikian, argumen tersebut perlu di tinjau kembali, pasalnya, sosiologi benar-benar mengalami perkembangan yang sangat cepat khususnya pada bidang paradigma.
B. Faktor penyebab
Sosiologi tidak mengalami perkembangan paradigma dengan begitu saja, artinya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki banyak paradigma tentunya ada rentetan kejadian atau faktor yang menyebabkan sehingga mengalami perkembangan paradigma. Menurut George Ritzert, ada tiga faktor penyebabnya, pertama; karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuan tentang apa yang semestinya menjadi subtansi kajian cabang ilmu yang di pelajari berbeda. Dengan kata lain, dari komunitas-komunitas para ilmuwan memandang salah satu ilmu yg menjadi pokok persoalan dari ilmu tersebut berbeda termasuk sosiologi. Kedua; sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori yang di bangun dan dikembangkan oleh masing-masing ilmuwan berbeda pula. Ketiga; metode yang digunakan untuk memahami subtansi kajian ilmu itu juga berbeda diantara komunitas ilmuwan itu, sehingga menghasilkan temuan yang berbeda pula (George Ritzert, 2013:8). Olehnya itu, terjadi perkembangan paradigma dalam sosiologi yang di sebabkan oleh ketiga faktor tersebut.
C. Paradigma dalam sosiologi
Diawal penjelasan penulis ungkapkan ada tiga paradigma besar dalam sosiologi yang di ungkapkan oleh George Ritzert, yakni, paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Dan diawal pula penulis mengatakan bahwa George ritzer pernah mengatakan sosiologi memiliki banyak paradigma (Multiple Paradigma), (baca Muhammad Supraja). Dengan demikian asumsi tersebut bisa di benarkan, pasalnya, sosiologi memang memiliki banyak paradigma di era kontemporer saat ini. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan beberapa paradigma besar dalam sosiologi yang mengalami perkembangan di era kontemporer saat ini yakni sebagai berikut:
1. Paradigma fakta sosial (tradisi aliran positivisme).
Paradigma fakta sosial pertama kali di cetuskan oleh Emile Durkheim dalam karyanya "The Rules Of sociological Method" tahun 1895. Menurutnya sosiologi harus mengkaji fakta sosial, lebih lanjut, beliau mengatakan fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, berperilaku dan berperasaan, yg berada di luar diri individu dan bersifat memaksa individu. Dengan kata lain fakta sosial berisikan nilai-nilai, norma-norma,dan aturan-aturan, yang sifatnya memaksa manusia (baca Ambo Upe, 2010). Singkatnya, menurut para penganut paradigma ini, fokus kajian sosiologi berisikan Pranata sosial dan Struktur sosial. Olehnya itu, dalam paradigma fakta sosial ini, dalam menggunakan metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data kuesioner, agar tercapainya temuan yg benar-benar objektif sebab ada pemisahan jarak antara peneliti dengan objek yang di teliti.
2. Paradigma definisi sosial (tradisi aliran fenomenologi)
Paradigma definisi sosial sering juga disebut dengan istilah post-positivisme, dikatakan post-positivisme karena menolak para penganut psotivisme yg tidak sukses menjelaskan realitas sosial yang ada. Paradigma ini pertama kali di cetuskan oleh Admud Husserl, kemudian dikembangkan oleh Max Weber kedalam sosiologi, pasalnya realitas sosial yang ada sebagai konsekuensi-konsekuensi tindakan manusia yang hidup di kepala manusia itu sendiri. Dengan kata lain, tindakan sosial yakni realitas yang penuh dengan makna-makna sosial. Sebagai seorang peneliti paradigma ini, harus mampu mengungkapkan makna-makna yang di keluarkan dari isi kepala sang aktor yang bertindak. Para penganut paradigma ini, sepakat bahwa manusia adalah objek sosial yang bebas dalam bertindak, dengan kata lain, manusia bebas melakukan tindakan sosial, tanpa ada yang mempengaruhinya. Singkatnya, paradigma definisi sosial di bawah payung tradisi fenomenologi, tentunya menghasilka pendekatan kualitatif, pasalnya, para penganut paradigma ini harus mampu membongkar makna-makna yang di hasilkan oleh manusia sebagai objek kajiannya, sebab hanya dengan itu para peneliti (observer) bisa menghasilkan temuan yang benar-benar objektif. Olehnya itu, metode yg digunakan dalam paradigma ini yakni metode observasi partisipan dan wawancara mendalam, dengan teknik verstehen yang oleh weber katakan.
3. Paradigma kritik (tradisi aliran emansipasi).
Paradigma ini, di cetuskan oleh mazhab frankfurt sebagai kritik terhadap paradigma awal yang telah sukses gemilang membawah manusia dari ketertindasan (dominasi). Paradigma kritik, sangat mengecam paradigma positivisme dan fenomenologi yang hanya notabennya menjelaskan realitas tanpa mampu membebaskan manusia dari ketertindasan, sehingga paradigma ini juga sering disebut dengan istilah tradisi emansipatoris, membebaskan manusia dari semua belenggu dominasi (baca frangky Budi Hardiman, dlm kritik ideologi, dan Thomas McCarthy). Paradigma ini dikembangkan oleh beberapa tokoh besar yakni, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse sebagai generasi pertama dan Jurgen Habermas sebagai generasi kedua. Singkatnya, paradigma kritik menggunakan metode Refleksi-diri yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas sebagai generasi kedua, sebab dgn cara ini cita-cita emansipasi bisa terlaksana (baca Muhammad Supraja, dlm pengantar metodologi penelitian sosial kritik Jurgen Habermas).
4. Pardigma Konstruktivisme (tradisi aliran wacana).
Paradigma ini, masih tergolong sangat baru, yang di kembangkan oleh aliran-aliran post-modern, dikatakan post-modern karena aliran ini tidak mempercaya lagi adanya pembentuk realitas sosial adalah teori-teori besar (Grand Teori). Menurut Prof. Dr. Darmawan Salman (guru besar sosiologi UNHAS-makassar) dalam kuliah umumnya di FISIP UHO, 2017. Mengatakan para penganut paradigma konstruktifisme sepakat bahwa pembentuk realitas adalah wacana yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Singkatnya, paradigma konstruktifisme ini, sepakat metodologi dalam mengakaji masyarakat yakni pendekatan membaca (wacana). Sebagai mana yg di kembangkan oleh tokoh-tokoh post modern sperti: Jacques Derrida, Jean Baudridlard, Michel Foucault, dan masih banyak lagi (baca Jenny Edkins-Nick Vaughan William, dlm teori-teori kritis menantang pandangan utama studi politik internasional).
Dengan demikian, menurut penulis inilah empat paradigma dalam ilmu sosiologi yang berkembang di era kontemporer. Klaim atas argumen George Ritzert bahwa sosiologi memiliki banyak paradigma (Multiple Paradigma). Klaim atas argumen ini dapat dibenarkan.
0 komentar: