BREAKING NEWS :
Loading...

Rasionalitas Masyarakat Modern adalah Mitos

Introduksi 
Dalam buku "dilema usaha manusia rasional" karya Sindhunata  menjelaskan secara gamblang mengenai rasionalitas masyarakat modern. Pada sub bab awal, iya menjelaskan sebuah argumen kritik dari para filosof seperti, Imanuel kant, Hegel, Karl Marx dan Freud. Kemudian pada sub bab kedua, ia menjelaskan sebuah kritik pedas oleh mazhab Frankfurt seperti Teodort Adorno dan Max Horkheimer, mengenai kritikx terhadap masyarakat modern khususx AS (baca Sindhunata). Sedangkan dalam sub bab terakhir dia menjelaskan mengenai sikap pesimistis Horkheimer mengenai rasionalitas masyarakat modern adalah mitos. Sedangkan dalam tulisan kali ini, hemat penulis akan menguraikan tentang argumen Horkheimer mengenai rasionalitas modern telah menjadi irasional (ketidakrasionalan), atau bahasa horkeimer rasionalitas modern adalah mitos, kalau bahasa Adorno di kenal dgn istilah Dialektika Negatif (baca Jenny Edkins-Niky Vaugham Williams). 

Rasionalitas Sebagai Produk Filsafat Positivisme
Tak pelak lagi, di era modernitas telah membawah masyarakat di katakan sebagai masyarakat modern atau masyarakat penuh dgn ilmu pengetahuan yang sifatx rasional. Hal ini dapat di buktikan melalui penemuan-penemuan alat teknologi canggih, yang dimana semakin hari semakin meningkat, tak di pungkiri lagi teknologi telah menjadi dewa manusia atau dengan istilah teknologi telah menjadikan manusia satu tujuan, kalau bahasa Marcuse "One-Dimensional Man" (baca sindhunata, Muhammad Supraja dan Thomas MicCarty). Hal demikian tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada rentetan sejarah yang melatar belakangi hal itu terjadi, sehingga kita di katakan sebagai manusia yg modern (katanya). Dalam Karya termasyur Bpk Sosiologi Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte "The Course Of Positive Philosophy" pada abad ke-19, beliau mengatakan ada tiga jenjang cara berpikir manusia yg dikenal denga hukum tiga tahap atau hukum tiga stadia yakni sebagai berikut: pertama, tahap teologi. Pada tahap ini dimana manusia hanya berserah diri pada sang maha pencipta (tuhan), sehingga segala kejadian alam semesta hanya kehendak tuhan dan manusia hanya pasrah degan keadaan itu tidak bisa berbuat apa-apa. Olehnya itu berkembang ajaran animisme, dinamisme, dan monoteisme. Kedua, tahap metafisika. Pada tahap ini, lanjutan dari tahap yang pertama (teologi), akan tetapi pada tahap ini pemikiran manusia sudah memberanikan diri untuk pasrah dgn keadaan alam semesta, sebab mereka telah memberikan nilai tukar dgn tuhanya sebagai contoh, mereka menyiapkan sesajen untuk diberikan kepada hal-hal yang berda diluar diri manusia tersebut dgn tujuan, harapan mereka bisa hidup bahagia dan bebas serta selamat dari cengkraman alam semesta. Ketiga, tahap positive. Pada tahap ini, segala kejadian alam semesta berbalik tunduk dan patuh terhadap manusia. Dengan kata lain, manusia telah berhasil menguasai alam semesta yang penuh dengan misteri, dengan rasio yang di bekali manusia sehingga alam semesta bisa di konstruksi sedemikian rupa dengan tujuan kemaslahatan manusia. Pada tahap ini juga adalah tahap terakhir yang di katakan bpk sosiologi tersebut atau dengan istilah rasionalitas modern yang mampu menundukkan alam semesta melalui akal pikiran manusia sehingga terciptalah berbagai penemuan-penemuan (baca Ambo Upe, 2010). Dengan demikian, kita bisa menarik sebuh benang merah bahwa rasionalitaas masyarakat modern adalah produk dari filsafat positivisme yang mendewakan ilmu pengetahuan faktual sebagai satu-satunya kebenaran dan menolak ada realitas yang berada diluar eksistensi manusia. Olehnya itu, perkembangan ilmu pengetahuan adalah produk rasionalitas modern, perihal idealnya manusia ingin bebas dan bahagia di lingkungannya. Sehingga melalui akalnya manusia mampu menundukkan alam semesta dan ini adalah rasional.
Ketika Rasio Menjadi Alat Belaka
Masih referensi yang sama, dalam buku dilema usaha manusia rasional dan referensi terkait kritik ideologi oleh Franky Budi Hardiman, menjelaskan bahwa Rasio telah menjadi alat belaka dengan bahasa mazhab Frankfurt "Rasio Instrumental". Tak dapat di pungkiri, sukses gemilang filsafat Positivisme merubah perdaban manusia yang tadinya bersifat mistis di konstuk kedalam sifat rasionalitas atau masuk akal. Dalam ilmu pengetahuan modern yg berlandaskan ilmu kealaman (naturele law) yg dimana hanya mendewakan fakta-fakta belaka dan menolak realitas yang eksistensinya di luar diri manusia, sebab hanya data faktuallah bisa menghasilkan ciptaan yg benar2 objektif (baca Ambo Upe, 2016). Sehingga menghasilkan temuan-temuan yang bebas nilai (Value laden). Ketika menghasilkan temuan-temuan yang bebas nilai, menandakan akal tidak bisa menjastifikasi fakta, melainkan akal hanya menjadi alat yg netral untuk menjelaskan fakta apa adanya tanpa ingin merubahnya dengan istilah akal berdiam diri tanpa menilai baik atau buruknya fakta tersebut, inilah gaya ilmu pengetahuan positivisme yang notabenenya gaya ilmu pengetahuan alam yang melihat realitas apa adanya. Dan inilah yang di pakai dalam ilmu pengetahuan sosial, sehingga setingan ilmu pengetahuan alam berhasil masuk dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, sebab ilmu pengetahuan alam lebih dulu maju dari pada ilmu pengetahuan sosial dan para filosof ilmu pengetahuan sosial yang berada dilingkaran wina sepakat ingin mensatu tujuankan ilmu pengetahuan sehingga tidakk ada pembedaan metodologi ilmu pengetahuan (baca Muhammad Supraja, Frangky Budi Hardimana, dan Sindhunata). Dengan demikian, kita bisa menarik benang merah bahwasanya gaya ilmu pengetahuan alam yg bebas nilai dan netral dari segi pemikiran, membawah rasio manusia sebagai alat belaka atau dengan istilah "Rasio Instrumental".
Rasionalitas modern adalah Mitos
Eksistensi manusia di muka bumi sebagai manusia yang penuh dengan manusia yang lainya, sehingga manusia harus berhubungan dengan sesamanya atau istilah manusia adalah mahkluk sosial tidak bisa hidup tanpa dengan keberadaan orang lain. Idealnya, manusia juga ingin hidup tenang, bahagia, sejahterah, dan tanpa adanya gangguan dari luar dirinya termasuk alam semesta yang penuh dengan misteri. Secara historis, manusia mempercayai adanya kejadian-kejadian alam semesta yang membuat manusia dihinggapi rasa kawatir terhadap kejadian itu, olehnya itu, manusia ingin menetralisirkan rasa kekawatiran tersebut dengan cara memberikan sesajen terhadap alam semesta walaupun tidak nampak kepada siapa yang diberikan tersebut, dengan kata lain, sikap mitos pada saat itu masih kental di hinggapi pikiran manusia atau bahasa Comte masa teologis dan metafisika. Dengan demikian, masa ini dikenal dengan istilah mitologi dunia penuh dengan mistis. Olehnya itu, usaha manusia untuk merasionalkan hal tersebut, untuk mencapai rasa kebahagiaan atau menghilangkan rasa kekawatiran terhadap kejadian alam, maka manusia melakukannya dengan cara menolak bala (sesajen) dan menyembah berbagai objek alam seperti batu, gunung, hutan, pohon dan lain sebagainya. Menurut Horkheimer dalam Sindhunata, hal ini adalah bentuk merasionalkan alam semesta atau dengan kata lain, mitos itu pula rasional (baca Sindhunata). Seiring perkembangan cara berpikir manusia, yang sampai pada tahap terakhir (positive), maka dunia mistis di gantikan oleh rasionalitas modern, yang contohnya ada pada masa sekarang ini, dimana manusia telah menemukan segala sesuatu di alam semesta ini bukan di sebabkan oleh kehendak tuhan, melainkan sebagai bentuk rasionalitas kejadian alam ada hukum-hukum alam yang membuat alam bisa mengalami kejadian, sebagai contoh gunung meletus, kalau dunia mitos mengatakan bahwa gunung meletus disebabkan oleh kekuatan yg berada di luar diri manusia, sehingga manusia harus menyembah hutan atau gunung tersebut agar mereka selamat dari hal tersebut. Lain halnya hukum positive mengatakan bahwa gunung meletus itu karena adanya gesekan yg terjadi pada batuan di dalam tanah sehingga terjadi ruang kosong pada tanah dan terjadilah penembunan ruang tersebut. Ini adalah ilustrasi contoh yang mencerminkan bahwa rasionalitas mitos adalah rasional (masuk akal). Lalu dimanakah, posisi rasionalitas moderen adalah mitos? Menurut Horkheimer, jika pada rasionalitas mitos tunduk pada alam semesta, maka rasionalitas modern tunduk pula pada alam, mengapa demikian? Horkheimer mengatakan bahwa ketika manusia modern telah berhasil membebaskan diri pada belenggu mitos, maka manusia modern menciptakan alam yang baru yang berbentuk rasional  (masuk  akal) seperti menundukkan alam contohnya reklamasi dgn menggunakan teknologi. Hal ini adalah rasional, akan tetapi bisa berbalik arah atau bisa menjadi irasional (tidak rasional), sebab, hasil yang telah diciptakan manusia rasional (modern) ini telah membuat penciptanya (manusia) tunduk pula. Inilah yg dikatakan Horkheimer (rasionalitas modern adalah mitos) karena sang pencipta (manusia) rasional, kembali tunduk dan patuh dari ciptaannya sendiri. Sebagai contoh pada dunia teknologi, sikap konsumtif yang berlebihan adalah bentuk keirasionalan masyarakat modern. Hand Phone, misalnya sebagai alat komunikasi, kemudian menjadi alat ketergantungan manusia, selain contoh itu, contoh lainnya pada dunia perpolitikan, sering dijumpai banyak manusia yg terjerumus pada korupsi, money politik padahal hal tersebut melanggar nilai dan norma akan tetapi masih toh di lakukan, inilah karena telah menjadi kebiasaan yang telah mendara daging dan sulit dihilangkan, inilah yang dikatakan sebagai bentuk keirasionalan masyarakat modern atau bahasa Horkheimer rasionalitas modern adalah mitos. Dengan demikian, kita bisa menarik benang merahnya, bahwa bentuk ketidak rasionalan masyarakat modern atau rasionalitas modern adalah mitos, itu jika manusia rasional yang masih terbelengguh oleh dominasi (baca kritik ideologi olehFranky Budi Hardiman).


    

4 komentar:

  1. Sy kira untuk menjawab kegelisahan anak bangsa (remaja) terkhusus di indonesia dengan eksistensi modernitas sebagai problematika dan sebagai mitos baru. Maka herbert marcus memberikan konsep yang ia namakan dengan kesadaran baru yang ia bagi juga menjadi 4 bagian,yakni :
    1. Kesadaran mistis, ialah tau akan ada masalah tetapi pasrah terhadap masalah itu.
    2. Kesadaran kritis,ialah manusia tau akan ada masalah tetapi bukan hanya sekedar mengetahui namun juga ia memberikan solusi pemecahan masalah tersebut.
    3. Kesadaran apatis, ialah manusia tidak perduli dengan masalah yg terjadi dan tidak juga memberikan solusi terhadap masalah itu
    4. Kesadaran determinan,ialah manusia tidak tau akan ada masalah tetapi ingin mengubah tataran hidupnya untuk bebas dari masalah itu. Nach jawaban atas solusi yg tepat bagi kita sebagai remaja dalam menghadapi era modernitas ialah menumbuhkan kesadaran kritis,dimana kita melihat dan memahami akan realitas yang ada serta memiliki terobosan pemikiran kritis kearah perubahan progreritas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya,,sodara sangat benar, hanya kesadaran kritis lah yg bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yg ada sebab, dgn berpikir kritis kita tdk hanya menerimah begitu saja apa-apa yg telah diciptakan masyarakat modern saat ini, melainkan kita menelaahnya kembali apakah itu pantas untuk masyarakat arau tidak. Herbert Marçuse juga tergolong mazhab frankfurt dia salah satu tokoh dari kedua tokoh lainnya yakni Horkheimer dan Adorno, ketiga tokoh ini sama-sama mengembangkan teori kritisnya dalam analisa mazhab frankfurt, sehingga mereka termasuk marcuse sepakat hanya dgn cara kesadaran kritis yg mampu membebaskan manusia dari ketertindasan atau dgn istilah emansipasi (membebaskan manusia dari segala bentuk dominasi, dlm bebas dari segala ketertindasan). Lalu pertanyaannya adalah, apakah ketiga tokoh tersebut termasuk marcuse yg anda utarakan, sudah sukses memberikan solusi masyarakat modern yg tertindas? Ternyata jawabannya mereka belum mendapatkan sebuah cara atau metode untuk membabaskan manusia yg tertindas itu, hanya saja mereka memberikan solusi yakni kesadaran berpikir kritis hanya sampai disitu saja, jadi mentok tdk ada tawaran. Sehingga kesimpulannya adalah ketiga tokoh tersebut sama-sama pesimis untuk mengadakan perubahan emansipasi, sebab mereka kembali berpikir menggunakan tradisi lama yakni kekerasan melawan kekerasan (baca sindhunata, Franky Budi hardiman) yg menjelaskan bentuk pesimistisnya ketiga tokoh tersebut, karena logika berpikirnya kembali pada aliran besar subjek-objek (aliran filsafat positifisme). Sama halnya, yg saya utarakan diatas, yg mengambil argumen salah satu diantara mereka yaitu horkheimer yg menjelaskan raaionalitas masyarakat modern adalah mitos, ini adalah bentuk kritiknya pula, tp akhirnya juga horkheimer mengalami pesimistik bahwa ia mengatakan masyarakat sekarang ini sudah terlanjurmi di dominasi oleh keadaan atau dgn istilah terdistorsi oleh keadaan, sdh pasrah mi. Setelah itu, masih berlanjut pemikiran mazhab frankfurt yg di kembangkan oleh generasi kedua yakni Jurgen Habermas, nah...inilah tokoh yg benar2 memberikan solusi terhadap dominasi keadaan masyarakat, habermas mengatakan bahwa para generasi pertama sdh sukses membawah penjelasan mengenai cara berpikir ilmuwan modern yg di dominasi ilmu pengetahuan alam. Dgn kata lain, generasi pertama sukses membongkar kebobrokan cara berpikir aliran positivisme, dgn memberikan solusi harus berpikir kritis, akan tetapi kritis oleh generasi pertama hanya menjelaskan realitas kejadian tentang kebobrokan aliran filsafat positivisme, hanya sebatas itu saja, jdi, mereka mentok hanya menjelaskan realitas apa adanya yg terjadi pada aliran positivisme. Jadi, cara berpikirnya generasi pertama termasuk marcuse yg anda utarakan, kembali pada cara berpikir aliran positivisme yg hanya menjelaskan realitas apa adanya tanpa mau membebaskanya dari dominasi. Nah...muncul jurgen habermas, memoles kembali cara berpikir generasi pertama, bahwa mereka hanya memiliki sedikit kekurangan saja. Yakni tindakan komunikatif, nah tindakan komunikatif inilah yg di pakai oleh habermas untuk membebaskan manusia dari ketertindasan atau belenggu oleh keadaan yg ada. Kalau dalam metodologi penelitiannya maka menggunakan pendekatan refleksi-diri. Tapi kalau tindakan komunikatif itu sebagai wujud ntayanya. Jadi, saya sarankan kalau kita pake pemikiran generasi pertama: maka kita hanya menjelaskan kebobrokan realitas yg ada sebagai produk filsafat positivisme, jadi, sarannya harus baca tuntas sampai generasi kedua. Terimah kasih.

      Hapus
  2. Mantapppp.. Blooger. Belum aktifina adesensenya..?

    BalasHapus

Copyright © 2017 Wacana sosial