A.
Refleksi
Historis
Meskipun kemunculannya ditahun 1930-an, namun istilah postmodernisme masih sangat erat hubungannya dengan ruang kultural atau kebudayaan seperti, seni, dan arsitek sehingga belum menjadi sebuah fenomena ruang kajian pemikir-pemikir pada rana intelektual. Pada tahun 1960-an, nalar postmodernisme masih dipakai oleh pemikir seniman dan arsitektur untuk melawan dominasi kultural modernisme dikala itu. Salah satu tokohnya, pada tahun 1965 muncul pengamat kebudayaan Leslie Fiedler dengan menambahkan istilah post pada awal kata modern sehingga menjadi kata postmodernisme yang menjadi indikasi protes terhadap kultural modernisme dikala zaman itu.
Istilah postmodernisme juga dipakai pada oleh salah seorang ahli arsitektur Jancks, dia mengatakan lahirnya konsep postmodernisme berawal dari tulisan sastrawan spanyol “Federico de Oniz” pada tahun 1930-an, dia mendeskripsikan sebuah zaman pendek mengenai indikasi reaksi ruang lingkup modernisme, menjelaskan tahap-tahap awal modernisme kemudian menuju pada tahap postmodernisme. Selain itu pula, istilah postmodernisme juga digunakan oleh ahli sejarawan Arnold Toynbee pada tahun 1947, dalam karyanya yang berjudul “A study of history”. Toynbee menegaskan postmodernisme suatu masa yang ditandai dengan peperangan, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan (Ritzer, 2003). Perdebatan para pemikir tentang siapakah yang lebih awal mengunakan istilah postmodernisme, tentunya tidak mejadi sebuah persoalan, melainkan hanya menjadi sebuah simbol kelahiran zaman baru yakni wajah postmodernisme atau postmo. Uraian pada tatara kultural istilah postmodernisme, digunakan terus menerus sehingga menjalar pada tataran bidang ilmu seperti, seni, arsitektur, sastra, film hingga pada tataran kajian filsafat. Hal ini, menjadi sebuah suasana intelektual baru khususnya pada bidang filsafat yang telah menggunakan istilah postmodernisme.
Pada dunia filsafat yang paling awal menggambarkan suasana cendikiawan postmodernisme, diperkenalkan oleh filsuf prancis “Jean-francois Lytord” dalam karyanya berdasarkan hasil penelitiannya tentang kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge pada tahun (1984), Lytord mengindikasikan bahwasanya kesatuan ontologis modernisme tidak relevan lagi. Dalam karyanya tersebut istilah Postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan (incredulity) terhadap metanarasi. Ketidakpercayaan itu dimaksudkan bahwa merupakan suatu produk dari kemajuan pengetahuan ilmiah, tetapi kemajuan tersebut pada akhirnya mendasarkan ketidakpercayaan itu sendiri (Ambo Upe, 2010). Dengan demikian postmodernisme tidak hanya digunakan pada istilah kultural melainkan menjalar pada seluruh tataran kehidupan manusia. Mengingat istilah ini sering digunakan oleh para pemikir-pemikir yang lahir di awal abad ke-21 ini. Sehingga, pemakaian kata post digunakan pada tataran setiap kajian, sebut saja, postmodernitas, poststruktural, postindustrial dan masih banyak lagi.
Uraian singkat perdebatan mengenai siapa yang paling awal menggunakan kata postmo tersebut, tentunya menjadi sebuah refleksi terhadap nalar modernisme yang notabenenya mendewakan totalitas, objektifitas, serta universal. Dengan kata lain, pada tataran kajian bidang intelektual, para pemikir postmo sepakat bahwa tidak lagi menggunakan cara berpikir yang dipakai oleh tradisi lama (modernisme atau saintifik) dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di abad ke-21 ini. Melainkan harus menggunakan nalar postmodernisme yang notabenenya, pluralisme dan relatifisme. Pluralisme sebagai salah satu ciri nalar posmodernisme, mengindikasikan bahwa analisa sebuah kejadian atau peristiwa tidak dapat dijastifikasi oleh satu pendekatan (objektif-universal), melainkan sebuah analisa ambiguitas, melahirkan dua makna yang berbeda. Sebagai contoh pada dunia seni dan arsitek, para pemikir nalar modernisme melihat arsitektur dan seni pada satu tataran yakni modern. Tidak pada nalar postmodernisme, dalam melihat seni dan arisitek, mereka sering menggunakan berbagai macam polesan sehingga nuansa perbedaan sangat kentara dipermukaan karyanya. Ini pada tataran dunia kultural. Sedangkan pada tataran bidang filsafat (intelektual), nalar postmodernisme sering menggunakan istilah plural dalam logika berpikirnya, sebut saja dekonstruksi (istilah yang dipakai Derrida).
Istilah postmodernisme juga digunakan untuk menggambarkan kondisi yang relatifisme. Dengan kata lain, dalam melihat sebuah kejadian, baik pada bidang kultural maupun bidang intelektual, maka ciri yang paling melekat pada nalar postmodernisme adalah relatifisme, dikatan demikian, karena nalar postmodernisme sangat menghargai narasi-narasi kecil, mereka tidak harus sepakat pada kajian narasi besar (grand narrative). Singkatnya, postmodernisme sangat yakin bahwa segalah sesuatu yang diyakini atau dipercaya (benar), belum tentu benar yang dipercaya atau diyakini oleh pihak tertentu, sehingga nuansa relatifisme pada postmo sangat nampak dipermukaan.
Pada dunia praksis, postmodernisme lahir dikarenakan kondisi masyarakat yang begitu kompleks, permasalahan yang begitu rumit, kondisi sosial yang begitu berubah, sehingga menimbulkan budaya yang majemuk dengan berbagai persoalannya. Dengan kata lain, nalar modernisme dengan kebenaran yang universalnya, membawah ketidakpastian terhadap sebuah peristiwa, sehingga ada nuansa paradoksnya, sebut saja, budaya modernisme sangat mencintai namanya rasionalitas yang ditandai dengan hilangnya budaya mistis (mitos), serta budaya tradisional. Akan tetapi, semuanya itu menjadi paradoks belaka, sebab diera teknologi yang canggih khususnya pada bidang informasi, budaya-budaya tradisional tidak begitu saja hilang dipermukaan melainkan ditampilkan diberbagai belahan dunia global. Sehingga kepercayaan atau keyakinan yang bersifat rasional, oleh nalar postmodernisme dipertanyakan kembali. Media telah menjadi sebuah sarana penampilan budaya yang telah lama hilang. Selain itu, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan segala aspek kehidupan masyarakat, semuanya di pertanyakan oleh nalar postmodernisme, sebab pada nalar modernisme memberikan sebuah janji-janji yang kala itu mampu membawah kesuksesan manusia dalam hal ini kesejahteraan. Akan tetapi semua itu, telah membeku dalam janji palsu, yang nyatanya masyarakat sekarang menghadapi berbagai permasalahan, sebut saja, kemiskinan, dominasi, alienasi, kelaparan, diskriminasi, dehumanisasi, konsumerisme, dan hegemoni budaya. Segelumit permasalahan tersebut, nalar modernisme tidak sukses membawah perdamaian dan kesejahteraan manusia. Sehingga mendorong lahirnya nalar postmodernisme yang notabenennya berbeda cara berpikirnya dengan modernisme.
Sebagaimana yang dikutip (Listiyono Santoso, dkk, 2003 dlm Hadiwinata, 1994: 23). Munculnya kritik postmodernisme terhadap nalar modernisme disebabkan beberapa hal antara lain: pertama; modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana yang diinginkan para pendukung fanatiknya: kedua; ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas: ketiga; ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern: keempat; ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya, dan ternyata keyakinan itu keliru manakala kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi meyertai perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi: kelima; ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia, karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu. Kelima faktor inilah yang mendorong sehingga postmodernisme muncul dipermukaan dengan dalih pluralisme dan relatifisme.
Postmodernisme dengan gaya berpikir relatifisme dan pluralisme, mendorong lahirnya peristiwa pencerahan yang baru, sebab dengan cara inilah kebenaran yang baik, yang ingin dicita-citakan oleh umat manusia, mampu menciptakan suasananya sendiri tanpa harus berpatokan oleh narasi besar (grand narrative). Dengan kata lain, umat manusia memiliki kesempatan yang sama atau setara dalam menciptakan kehidupannya sendiri tanpa harus berpijak pada satu titik pedoman, sebab manusia dengan akalnya mampu berpikir dengan sendirinya. Inilah sangat nampak jurang pemisah antara nalar modernisme dengan nalar postmodernisme.
Dari berbagai literatur, pada dunia filosofis, postmodernisme juga lahir dengan semboyan yang sama persis pertama kalinya muncul pada pemikir-pemikir terdahulu yakni “beranilah berpikir sendiri” (sepere ua de). Semboyan inilah yang dipakai pada nalar modernisme, akan tetapi modernisme membatasi ruang gerak berpikir dengan dalih konsep atau teori atau definisi. Sehingga ketika telah mencapai pada titik definisi atau konsep, maka pemikir berpendapat kita telah mencapai kebenaran yang mutlak. Hal inilah yang diprotes mati-matian oleh pemikir nalar postmodernisme, sebab mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang mutlak, yang hanya berhenti pada tatanan definisi atau konsep, melainkan mereka mempercayai konsep atau deifinisi tergantung sebuah interpretasi masing-masing. Dengan demikian, nalar postmodernisme, tidak akan pernah terjebak oleh tradisi objektif, universal, dan totalitas, sebab postmodernisme itu plural lagi relatif.
Dengan demikian, berbagai pokok persoalan dalam refleksi historis lahirnya sebuah payung besar yakni postmodernisme yang tiba-tiba “booming” dipermukaan, dapat kita tarik benang merahnya dengan beberapa ciri yaitu: pertama; postmodernisme lahir disebabkan oleh ketidakmampuan modernisme dalam membongkar kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Kedua; pada dunia praksis, begitu kompleksnya permasalahan umat manusia, mendorong postmodernisme lahir dipermukaan dengan dalih pluralisme dan relatifismenya. Ketiga; pada dunia filsafat, postmodernisme lahir karena ketidakpercayaannya terhadap nalar modernisme yang notabenenya totalitas, objektif, dan universal. Sedangkan postmo, yakni relatif dan plural. Sehingga dapat disimpulkan postmodernisme adalah sebuah tatanan baru, sebuah pencerahan atas pencerahan, sebuah pencerahan atas globalitas, sebuah wajah baru yang ditandai dengan pluralisme, fragmentisme, heterogenitas, skeptisisme, dekonstruksi, ketidakpastian, dan perbedaan (relatifisme).
Ketidaksepahaman Derrida Terhadap Metafisika dan Epistemologi Modern
Sebagai tokoh yang koheren terhadap komentator filsafat barat, Derrida tidak sepaham dengan model pemikiran filsuf barat khususnya terhadap metafisika kehadiran dan epistemologi modern (Listiyono, dkk, 2003). Usaha Derrida untuk mendekonstruksi filsafat modern pertama-tama adalah dengan mengkritik pandangan metafisika dan epistemologi modernisme. Menurutnya, seluruh tradisi pemikiran barat sangat dipengaruhi oleh metafisika kehadiran. Artinya, bahwa konsep atau teori telah dianggap mewakili ada (being). Pencarian (being) seakan-akan mencukupi jika sudah ditemukan konstruksi pemikiran yang dianggap merupakan pengungkapan dari (being). Kata, tanda atau konsep seakan-akan telah menunjukkan atau menghadirkan being.
Pada rana pemikiran Barat, selalu menunjukkan terjadinya pertarungan pemikiran antara mitos dan logis. Oleh sebab itu, cara berpikir filsuf barat yang melahirkan pendikotomian semacam itu melahirkan sebuah penindasan sebab, kalimat yang pertama menjadi lebih berarti dari kalimat yang kedua. Atau dengan kata lain, tanda, konsep atau teori telah melahirkan ada (being) (Listiyono, dkk, 2003). Selain itu, pemikiran Barat, pada zaman modern yang bersifat logis, nampak telah menguasai alam pikiran manusia. Mereka telah berdebat tentang dasar-dassar, asal-usul, eksistensi, subtansi, hakikat, subjek, asas-asas, transendental, kesadaran atau suara hati, dan Allah, manusia dan seterusnya, mereka beranggapan dengan menghadirkan sebuah konsep atau teori semacam itu, maka telah hadir pulalah realitas dan bahkan, manusia telah menguasai realitas. Dikotomi realitas, subjek-objek, tuhan-Allah, siang-malam dan seterusnya, mendorong model pemikiran yang logis atau logosentrisme. Pemikiran semacam ini, menurut Derrida sangat penting sebab, berkaitan dengan sentralitas kehadiran. Pikiran kita didasarkan nilai “kehadiran”. Kita “menunjukkan”, “mengungkapkan”, “menjelaskan”. Hal ini didasarkan pada fondasi, asal-usul, atau semacam “kehadiran” pada akar dari sejumlah hal. Dengan kata lain, konsep dari dikotomi realitas tersebut melahirkan sebuah konsep atau teori (being), atau bahasa Derrida sebagai “metafisika kehadiran” ( Derrida, 1998: 49 dalam Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams, 2009).
Akan tetapi, dibalik dari model pemikiran tersebut (Logosentrism), telah mendominasi konsep totalitas dan konsep esensi (Santoso, 1992: 62). Dikatakan konsep totalitas, karena sebuah ide yang menyatakan bahwa realitas adalah satu/tunggal, sehingga pemikiran sulit untuk berkembang. Konsekuensinya adalah bentuk penindasan, sebab memaksa pemikiran manusia masuk kedalam sebuah sistem. Sedangkan konsep esensi adalah bentuk konsep tentang sesuatu yang menimbulkan harus diakui, konsekuensinya adalah dogmatisme dan legitimasi kekuasaan rasio. Bentuk contoh sebuah model pemikiran logosentrisme adalah dapat dilihat dalam masyarakat kapitalisme yang orientasi-orientasinya dan prosedur-prosedur praktisnya merupakan pertautan rumit antara pengakuan dan kesewenangan. Contoh lainnya, dapat dilihat dari bentuk hegemoni kekuasaan terhadap realitas yang tertindas. Menurut Derrida, logosentrism sekurang-kurangnya mengandung dua ciri utama, yakni: pertama; prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai suatu orientasi yang paling umum. Kedua; prosedur-prosedur itu harus merupakan suara yang berdaulat yang tidak lagi dapat dipermasalahkan atau diperdebatkan (Hadiwinata, 1994: 23).
Konsekuensi dari model pemikiran logosentrisme mendorong juga berimplikasi terhadap epistemologi, khususnya epistemologi modern. Ciri yang paling mendasar dari epistemologi modern adalah pendikotomian subjek-objek. Hasil dari dikotomi semacam ini, membuahkan hasil bahwa yang pertama adalah pusat, asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedangkan yang kedua hanyalah sebagai derivasi, manifestasi pinggir, dan sekunder dalam kaitanya dengan yang petama (Sahal, 1994: 12). Dengan kata lain, mengingat sebuah konsep yang pertama tidak bisa dapat dijelaskan tanpa adanya konsep yang mempengaruhinya misalnya, sebut saja kalimat hadir, dikatakan hadir karena ada kalimat luarnya yakni tidak hadir (absen) atau kalimat lawanya. Sehingga pemikiran semacam ini, tentunya mendorong sebuah konsep pendominasian terhadap kalimat yang keduanya selama berhubungan yang pertama. Kebernaran demikian sangatlah berbahaya, sebab akan menjadi tempat persembunyian kepentingan kekuasaan antara pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya.
Dalam perspektif Derrida, filsafat cenderung mencari kebenaran absolut, sehingga meninggalkan pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun sebuah konsep dengan teori. Yang demikian ini, menurut Derrida harus didekonstruksi (dibongkar), mengingat kebenaran absolut, tunggal dan mutlak itu tidak ada melainkan hanya sebuah “bekas” atau “jejak” (trace) dari setiap pemaknaan manusia. Filsafat percaya bahwa konsep dan teori telah mampu merepresentasikan kebenaran seperti apa adanya. Karena itu, praksis dan etika kehidupan publik manapun harus mendasarkan dirinya diatas konsep filosofis yang kuat atas klaim kesahihannya. Demikiannlah yang diyakini oleh filsuf seperti, Plato, Hegel, Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Listiyono, dkk, 2003).
Menurutnya (Derrida), menginginkan sebuah kebenaran tidak harus dibatasi dalam kebenaran mutlak, tunggal, dan universal, sebab dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat plural, partikular dan relatif. Untuk merealisasikan pemikirannya atau gagasannya terhadap realitas sekaligus kritik terhadap modernitas, Derrida memperkenalkan sebuah model pemikiran pembongkaran makna-makna atau metode membaca realitas, yang bahasa Derrida sebutkan dengan nama “Dekonstruksi”.
Dekonstruksi Sebagai Kunci Pemikiran Derrida
Sejarah yang panjang, seorang pemikir atau teoritikus, tentunya mendapatkan ide dari sebagian pemikir lainnya atau pemikir terdahulu. Tidak terkecuali Derrida, mendapatkan idenya dari sebuah model pemikiran filsafat fenomenologi Husserl dan Heidegger sepanjang berbicara mengenai interpretasi (makna) dan bahasa dari language games dari Wittgenstein (Listiyono, dkk, 2003). Menurut fenomenologi Husserl, penjelasan sebuah pemaknaan, dimana makna diasumsikan dapat diperoleh pada suatu wilayah yang pasti yang dapat dikenal langsung (Unmediated). Karena wilayah ini dapat dikenal langsung, maka dengan sendirinya ia tampak sebagai suatu “kehadiran” (presence) pada persepsi kita. Bagi Husserl, dengan dasar keadaan seperti ini, akan sangat memungkinkan ditemukan bentuk ekspresi murni dari realitas sebagai dunia penghayatan sehari-hari (lebenswel) (Awuy, 1993: 104 dalam Listiyono, dkk, 2003).
Logika seperti inilah yang mengungkung sebuah pemikir barat pada umumnya, menjelaskan realitas dengan konsep tunggal, objektif, dan universal. Derrida tidak sepakat dengan model logika semacam itu, sebab menurutnya, realitas tidak dalam bentuk yang tunggal atau semacam konsep yang berakhir. Melainkan sebuah bekas atau jejak (trace) dari sebuah pemaknaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, Derrida mengingatkan kita, bahwasanya pikiran kita, tidak berhenti pada titik sebuah konsep tunggal atau mengobjektifikasikan realitas, melainkan sebuah bentuk yang berdinamika yang dimana, tergantung dari pemaknaan seorang yang membaca realitas itu sendiri. Selain itu, dengan adanya cara berpikir yang digunakan Derrida seperti ini, mengingatkan pula sebuah realitas itu, tidak terstruktur melainkan, sebuah pluralitas dan relatifitas. Dengan ini, tidak sungkanlah seorang pemikir mengalamatkan Derrida sebagai tokoh yang konsisten pada bidang postmodernisme.
Sebagai seorang pemikir, tentunya Derrida tidak terlepas dari komentar-komentarnya terhadap pemikir lainnya. Sebut saja, kritikus mazhab Frankfur, Derrida pernah berdiskusi dengan salah seorang teoritikus mazhab frankfur sebut saja Habermas. Hasilnya bahwa, Derrida tidak sepaham dengan pendapat Teori Kritik Mazhab Frankfur sebab, logikanya masih melanjutkan cara-cara yang digunakan oleh pemikir barat pada umumnya. Singkatnya, sebuah model pemikiran Derrida adalah bentuk diskontiunitas dari model pemikiran barat atau logika modernisasi (Lubis, 2015).
Dengan adanya diskusi panjang maupun bentuk kritik pedas yang dialamatkan oleh pemikiran modern pada umunya, Derrida memiliki sebuah model tersendiri. Mengingat, sebuah model pemikiran tersendiri mencermincan pluralitas pemikiran yang dialamatkan oleh para ahli. Atau dengan kata lain, sebuah paradigma tersendiri yang dimiliki oleh masing-masing para ilmuan khususnya pada bidangnya masing-masing. Kunci dasar pemikiran Derrida adalah sebuah model pemikiran yang tidak terstruktur atau metode tafsir atau sebuah metode pembongkaran tiada akhir, akan tetapi bukan sebuah metode tafsir semata apalagi sebuah metode bembongkaran konsep tiada akhir. Melainkan sebuah metode membaca atau membongkar realitas yang sudah ada, kemudian menyusunnya kedalam interpretasi masing-masing pemikiran kita. Singkatnya, sebuah metode (Dekonstruksi) atau membongkar terhadap realitas yang ada atau teks-teks yang ada. Sehingga konsepnya bertentangan dengan logika modernisasi. Untuk lebih jelasnya mengenai dekontruksi sebagai metode maupun kunci dasar pemikiran Derrida, maka akan diuraikan lebih lanjut.
Dekonstruksi Sebagai Metode
Derrida memulai dekonstruksinya pertama kali dengan memusatkan perhatian pada bahasa. Sikap ini diambil mengingat ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Bahasa telah mewakili realitas. Bahasa telah menjadi tempat persembunyian kepentingan. Bahasa menentukan prioritas suatu hal atas yang lain (Listiyono, dkk 2013). Pasalnya, sebuah bahasa memiliki perbedaan (difference), sehingga makna dalam realitas memiliki perbedaan, bukan konsep yang tunggal. Menurut Derrida, bahasa memiliki karakter difference. Ini berarti kata-kata (tanda) hanya merujuk pada tanda yang lain. Dan tidak pernah berakhir pada objek tertentu sebagai penjelasan final/penyimpul (Fahrudin Faiz, 2015). Ini menandakan bahwasanya sebuah realitas atau peristiwa itu tidak bersifat tunggal, melainkan sebuah definisi konsep pluralitas yang memadai.
Lebih lanjut, Derrida memulai dekonstruksi melalui dari tulisan, pasalnya sebuah realitas tidak terlepas dari teks atau dengan istilah Derrida yakni there is nothing outside of the text (tidak ada sesuatu pun yang diluar teks). Mengingat sebuah teks memiliki berbagai macam makna. Hal ini terjadi, karena sebuah teks adalah perbedaan makna (difference) atau penundaan. karena teks itu memiliki perbedaan makna, maka otomatis sebuah teks itu memiliki bebagai macam makna atau beribu macam makna tergantung siapa yang membacanya. Konsep lain, yang dikeluarkan oleh Derrida adalah “bekas atau jejak (trace). Konsep-konsep inilah yang menjadi pendukung untuk membongkar teks atau membaca teks yang ada.
Proklamasi
postmodernisme muncul pada tanggal 15 juli 1972, pada pukul 3: 32 sore.
Kejadian ini berawal ketika gedung Pruitt-Igoe di St. Louis yang dianggap
sebagai lambang arsitektur modern dihancurkan. Ironisnya, proses penghancuran gedung
tersebut dilakukan oleh para penghuninya dengan sengaja. Pemerintah
menghabiskan jutaan dolar untuk merenovasi bangunan tersebut, namun akhirnya
menyerah. Pada sore hari di bulan juli 1972 tersebut, bangunan ini diledakkan
dengan dinamit. Charles Jancks, seorang arsitek postmodern yang paling
berpengaruh di kala itu, mengatakan bahwa kejadian peledakan gedung tersebut
merupakan permulaan kematian nalar modernisme dan sekaligus merupaka awal
kemunculan postmodernisme. Maknanya adalah saatnya merayakan kebaikan, saatnya
yang paling buruk, saatnya merayakan perbedaan. Inilah saat yang menakutkan
atas perbedaan. Yang lain mengatakan, inilah saat merayakan teknologi yang
mengagumkan sekaligus menakutkan serta ketidakpercayaan pada sains. Perihal,
hal tersebut, dikarenakan kemakmuran yang dijanjikan oleh modernisme, berbalik
arah menjadi kemiskinan yang mengerikan. Kesejahteraan yang tidak pernah
terealisasikan, sehingga modernisme menjadi alat protes oleh postmodernisme.
Secara definisi, postmodernisme atau yang paling keren didengar postmo. Berangkat dari akar kata post suatu keadaan yang sudah lewat, lepas terpisah, terputus atau beyond. Lantas apakah postmodern sudah melewati tapal batas modernisme, atau tidak modern lagi? Tentunya kita tidak boleh terjebak oleh ruang persoalan definisi. Karena itu, fenomena kemunculan postmodernisme yang tiba-tiba “Booming” ini, harus ditanggapi secara historis-argumentatif-filosofis. Dengan demikian pada dasarnya postmodernisme merupakan nilai inheren dari modernisme, sehingga keduanya memiliki nilai postif. Dengan kata lain, postmodernisme lahir dipermukaan disebabkan karena adanya nalar modernisme yang tidak sukses membawah perubahan pada tatanan kehidupan khususnya ruang sosial. Pada dasarnya postmodernisme muncul diawal tahun 1930-an.
Secara definisi, postmodernisme atau yang paling keren didengar postmo. Berangkat dari akar kata post suatu keadaan yang sudah lewat, lepas terpisah, terputus atau beyond. Lantas apakah postmodern sudah melewati tapal batas modernisme, atau tidak modern lagi? Tentunya kita tidak boleh terjebak oleh ruang persoalan definisi. Karena itu, fenomena kemunculan postmodernisme yang tiba-tiba “Booming” ini, harus ditanggapi secara historis-argumentatif-filosofis. Dengan demikian pada dasarnya postmodernisme merupakan nilai inheren dari modernisme, sehingga keduanya memiliki nilai postif. Dengan kata lain, postmodernisme lahir dipermukaan disebabkan karena adanya nalar modernisme yang tidak sukses membawah perubahan pada tatanan kehidupan khususnya ruang sosial. Pada dasarnya postmodernisme muncul diawal tahun 1930-an.
Meskipun kemunculannya ditahun 1930-an, namun istilah postmodernisme masih sangat erat hubungannya dengan ruang kultural atau kebudayaan seperti, seni, dan arsitek sehingga belum menjadi sebuah fenomena ruang kajian pemikir-pemikir pada rana intelektual. Pada tahun 1960-an, nalar postmodernisme masih dipakai oleh pemikir seniman dan arsitektur untuk melawan dominasi kultural modernisme dikala itu. Salah satu tokohnya, pada tahun 1965 muncul pengamat kebudayaan Leslie Fiedler dengan menambahkan istilah post pada awal kata modern sehingga menjadi kata postmodernisme yang menjadi indikasi protes terhadap kultural modernisme dikala zaman itu.
Istilah postmodernisme juga dipakai pada oleh salah seorang ahli arsitektur Jancks, dia mengatakan lahirnya konsep postmodernisme berawal dari tulisan sastrawan spanyol “Federico de Oniz” pada tahun 1930-an, dia mendeskripsikan sebuah zaman pendek mengenai indikasi reaksi ruang lingkup modernisme, menjelaskan tahap-tahap awal modernisme kemudian menuju pada tahap postmodernisme. Selain itu pula, istilah postmodernisme juga digunakan oleh ahli sejarawan Arnold Toynbee pada tahun 1947, dalam karyanya yang berjudul “A study of history”. Toynbee menegaskan postmodernisme suatu masa yang ditandai dengan peperangan, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan (Ritzer, 2003). Perdebatan para pemikir tentang siapakah yang lebih awal mengunakan istilah postmodernisme, tentunya tidak mejadi sebuah persoalan, melainkan hanya menjadi sebuah simbol kelahiran zaman baru yakni wajah postmodernisme atau postmo. Uraian pada tatara kultural istilah postmodernisme, digunakan terus menerus sehingga menjalar pada tataran bidang ilmu seperti, seni, arsitektur, sastra, film hingga pada tataran kajian filsafat. Hal ini, menjadi sebuah suasana intelektual baru khususnya pada bidang filsafat yang telah menggunakan istilah postmodernisme.
Pada dunia filsafat yang paling awal menggambarkan suasana cendikiawan postmodernisme, diperkenalkan oleh filsuf prancis “Jean-francois Lytord” dalam karyanya berdasarkan hasil penelitiannya tentang kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge pada tahun (1984), Lytord mengindikasikan bahwasanya kesatuan ontologis modernisme tidak relevan lagi. Dalam karyanya tersebut istilah Postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan (incredulity) terhadap metanarasi. Ketidakpercayaan itu dimaksudkan bahwa merupakan suatu produk dari kemajuan pengetahuan ilmiah, tetapi kemajuan tersebut pada akhirnya mendasarkan ketidakpercayaan itu sendiri (Ambo Upe, 2010). Dengan demikian postmodernisme tidak hanya digunakan pada istilah kultural melainkan menjalar pada seluruh tataran kehidupan manusia. Mengingat istilah ini sering digunakan oleh para pemikir-pemikir yang lahir di awal abad ke-21 ini. Sehingga, pemakaian kata post digunakan pada tataran setiap kajian, sebut saja, postmodernitas, poststruktural, postindustrial dan masih banyak lagi.
Uraian singkat perdebatan mengenai siapa yang paling awal menggunakan kata postmo tersebut, tentunya menjadi sebuah refleksi terhadap nalar modernisme yang notabenenya mendewakan totalitas, objektifitas, serta universal. Dengan kata lain, pada tataran kajian bidang intelektual, para pemikir postmo sepakat bahwa tidak lagi menggunakan cara berpikir yang dipakai oleh tradisi lama (modernisme atau saintifik) dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di abad ke-21 ini. Melainkan harus menggunakan nalar postmodernisme yang notabenenya, pluralisme dan relatifisme. Pluralisme sebagai salah satu ciri nalar posmodernisme, mengindikasikan bahwa analisa sebuah kejadian atau peristiwa tidak dapat dijastifikasi oleh satu pendekatan (objektif-universal), melainkan sebuah analisa ambiguitas, melahirkan dua makna yang berbeda. Sebagai contoh pada dunia seni dan arsitek, para pemikir nalar modernisme melihat arsitektur dan seni pada satu tataran yakni modern. Tidak pada nalar postmodernisme, dalam melihat seni dan arisitek, mereka sering menggunakan berbagai macam polesan sehingga nuansa perbedaan sangat kentara dipermukaan karyanya. Ini pada tataran dunia kultural. Sedangkan pada tataran bidang filsafat (intelektual), nalar postmodernisme sering menggunakan istilah plural dalam logika berpikirnya, sebut saja dekonstruksi (istilah yang dipakai Derrida).
Istilah postmodernisme juga digunakan untuk menggambarkan kondisi yang relatifisme. Dengan kata lain, dalam melihat sebuah kejadian, baik pada bidang kultural maupun bidang intelektual, maka ciri yang paling melekat pada nalar postmodernisme adalah relatifisme, dikatan demikian, karena nalar postmodernisme sangat menghargai narasi-narasi kecil, mereka tidak harus sepakat pada kajian narasi besar (grand narrative). Singkatnya, postmodernisme sangat yakin bahwa segalah sesuatu yang diyakini atau dipercaya (benar), belum tentu benar yang dipercaya atau diyakini oleh pihak tertentu, sehingga nuansa relatifisme pada postmo sangat nampak dipermukaan.
Pada dunia praksis, postmodernisme lahir dikarenakan kondisi masyarakat yang begitu kompleks, permasalahan yang begitu rumit, kondisi sosial yang begitu berubah, sehingga menimbulkan budaya yang majemuk dengan berbagai persoalannya. Dengan kata lain, nalar modernisme dengan kebenaran yang universalnya, membawah ketidakpastian terhadap sebuah peristiwa, sehingga ada nuansa paradoksnya, sebut saja, budaya modernisme sangat mencintai namanya rasionalitas yang ditandai dengan hilangnya budaya mistis (mitos), serta budaya tradisional. Akan tetapi, semuanya itu menjadi paradoks belaka, sebab diera teknologi yang canggih khususnya pada bidang informasi, budaya-budaya tradisional tidak begitu saja hilang dipermukaan melainkan ditampilkan diberbagai belahan dunia global. Sehingga kepercayaan atau keyakinan yang bersifat rasional, oleh nalar postmodernisme dipertanyakan kembali. Media telah menjadi sebuah sarana penampilan budaya yang telah lama hilang. Selain itu, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan segala aspek kehidupan masyarakat, semuanya di pertanyakan oleh nalar postmodernisme, sebab pada nalar modernisme memberikan sebuah janji-janji yang kala itu mampu membawah kesuksesan manusia dalam hal ini kesejahteraan. Akan tetapi semua itu, telah membeku dalam janji palsu, yang nyatanya masyarakat sekarang menghadapi berbagai permasalahan, sebut saja, kemiskinan, dominasi, alienasi, kelaparan, diskriminasi, dehumanisasi, konsumerisme, dan hegemoni budaya. Segelumit permasalahan tersebut, nalar modernisme tidak sukses membawah perdamaian dan kesejahteraan manusia. Sehingga mendorong lahirnya nalar postmodernisme yang notabenennya berbeda cara berpikirnya dengan modernisme.
Sebagaimana yang dikutip (Listiyono Santoso, dkk, 2003 dlm Hadiwinata, 1994: 23). Munculnya kritik postmodernisme terhadap nalar modernisme disebabkan beberapa hal antara lain: pertama; modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana yang diinginkan para pendukung fanatiknya: kedua; ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas: ketiga; ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern: keempat; ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya, dan ternyata keyakinan itu keliru manakala kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi meyertai perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi: kelima; ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia, karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu. Kelima faktor inilah yang mendorong sehingga postmodernisme muncul dipermukaan dengan dalih pluralisme dan relatifisme.
Postmodernisme dengan gaya berpikir relatifisme dan pluralisme, mendorong lahirnya peristiwa pencerahan yang baru, sebab dengan cara inilah kebenaran yang baik, yang ingin dicita-citakan oleh umat manusia, mampu menciptakan suasananya sendiri tanpa harus berpatokan oleh narasi besar (grand narrative). Dengan kata lain, umat manusia memiliki kesempatan yang sama atau setara dalam menciptakan kehidupannya sendiri tanpa harus berpijak pada satu titik pedoman, sebab manusia dengan akalnya mampu berpikir dengan sendirinya. Inilah sangat nampak jurang pemisah antara nalar modernisme dengan nalar postmodernisme.
Dari berbagai literatur, pada dunia filosofis, postmodernisme juga lahir dengan semboyan yang sama persis pertama kalinya muncul pada pemikir-pemikir terdahulu yakni “beranilah berpikir sendiri” (sepere ua de). Semboyan inilah yang dipakai pada nalar modernisme, akan tetapi modernisme membatasi ruang gerak berpikir dengan dalih konsep atau teori atau definisi. Sehingga ketika telah mencapai pada titik definisi atau konsep, maka pemikir berpendapat kita telah mencapai kebenaran yang mutlak. Hal inilah yang diprotes mati-matian oleh pemikir nalar postmodernisme, sebab mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang mutlak, yang hanya berhenti pada tatanan definisi atau konsep, melainkan mereka mempercayai konsep atau deifinisi tergantung sebuah interpretasi masing-masing. Dengan demikian, nalar postmodernisme, tidak akan pernah terjebak oleh tradisi objektif, universal, dan totalitas, sebab postmodernisme itu plural lagi relatif.
Dengan demikian, berbagai pokok persoalan dalam refleksi historis lahirnya sebuah payung besar yakni postmodernisme yang tiba-tiba “booming” dipermukaan, dapat kita tarik benang merahnya dengan beberapa ciri yaitu: pertama; postmodernisme lahir disebabkan oleh ketidakmampuan modernisme dalam membongkar kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Kedua; pada dunia praksis, begitu kompleksnya permasalahan umat manusia, mendorong postmodernisme lahir dipermukaan dengan dalih pluralisme dan relatifismenya. Ketiga; pada dunia filsafat, postmodernisme lahir karena ketidakpercayaannya terhadap nalar modernisme yang notabenenya totalitas, objektif, dan universal. Sedangkan postmo, yakni relatif dan plural. Sehingga dapat disimpulkan postmodernisme adalah sebuah tatanan baru, sebuah pencerahan atas pencerahan, sebuah pencerahan atas globalitas, sebuah wajah baru yang ditandai dengan pluralisme, fragmentisme, heterogenitas, skeptisisme, dekonstruksi, ketidakpastian, dan perbedaan (relatifisme).
B.
Jacques
Derrida
Biografi
dan Karyanya
Jacques
Derrida, yang paling fulgar disebut “Derrida”, lahir pada 15 juli 1930 di
El-Biar, dekat Al-jazair, dia lahir dari keturunan yahudi, orang tuanya pemasar
minuman alkohol (F. Budihardiman: 24 Mei 2014 serambi salihara), sehingga sering
bepergian. Derrida kecil yang sering dipanggil “Jackie”, pernah dibawah oleh
ayahnya untuk bepergian, ayahnya seorang yang malas dengan ilmu pengetahuan,
sedangkan Derrida seorang yang senang membaca buku-buku. Derrida semasa
kecilnya sudah mengalami pengalaman gejolak, diskriminasi sebagai orang yahudi.
Setelah menjalani pendidikan dasar di El-Biar, pada 1941 ia naik ke lycee. Setahun kemudian ia dikeluarkan
dari sekolah karena berdarah Yahudi (Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams. 2009:
182). Hal ini karena undang-undang anti Anti-Semit diterapkan pada wilayah
jajahan Perancis meski Aljazair tidak diduduki Jerman. Saat menderita akibat
sentimen anti-semitisme di masyarakat, ia merasa tidak nyaman disekolah
menengah Yahudi. Maka dari itu, ia pernah tidak sekolah hampir satu tahun
(Bennington dan Derrida, 1993: 326-27 dlm Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams,
2009:182). Setelah berjalannya waktu, ia pun memutuskan untuk kembali
bersekolah, akan tetapi gagal dalam tes baccalaureatn
(setara SMA) pada 1947.
Ia (Derrida) masuk belajar di Ecole Normale Superieure (paris), dan
akhirnya menjadi dosen tetap bidang filsafat di sekolah tersebut (1967-1992)
(Bertens. 1990: 491, dalam Listiyono Santoso, dkk; 2003). Pada tahun 1953-1954,
Ia pergi ke-Lifen untuk mempelajari
arsip-arsip Husserl mengenai fenomenologi. Setelah mempelajari arsip-arsip
Husserl, Derrida menulis sebuah disertasi yang berjudul “Le Problem De La Genesis Dong La Philosophy The Husserl” (F.
Budihardiman, 24 Mei 2014 serambi salihara).
Berbagai literatur karya-karya Derrida
sangat banyak dan bisa dilacak dalam tulisan Albert Leventure. Di antara karya
Derrida yang cukup terkenal, antara lain: Lecriture
et la Difference (Tulisan dan Perbedaan) (1967), De la Grammatologie (Tentang Grammatologi) (1967), dan Marges de la Philosophie (1972)
(Pinggiran-Pinggiran Filsafat) (Heri Santoso, dkk: 2003). Sedangkan literatur
lainnya, karya Derrida masih banyak lagi seperti, Speech and Phenomena (1973).
Hampir-hampir semua karya-karya Derrida
bentuk kritik terhadap karya awal para filosof terdahulu seperti; Plato,
Aristoteles, Kant, Hegel, Freud, Nietzche, Heidegger, dan Husserl. Dari
komentar Derrida terhadap para filsuf terdahulu, maka Derrida mendapatkan
sebuah pendekatan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh diatas, tidak
mungkin diabaikan pengaruhnya terhadap pemikiran Derrida, khususnya pengaruh fenomenologi Husserl dan Strukturalisme Saussure
dan Levi-Strauss (Heri Santoso, dkk: 2003). Sekali lagi, pengaruh itulah yang
mendorong lahirnya sebuah pemikiran Derrida khususnya sebuah pendekatan
interpretasi postmo. Di katakan interpretasi postmo, sebab pemikiran Derrida
jauh melaumpaui pemikiran interpretasi modern khususnya Fenomenologi. Bahkan sebuah
pendekatan yang mengalami diskontiunitas dari modernitas pemikiran barat pada
umumnya. Singkatnya sebuah metode analisa bahasa dan tulisan atau teks pada
umumnya melalui pendekatan yang oleh Derrida namakan “Dekonstruksi”.
Atas hal ini, sehingga beberapa komentator
menyebut bahwa Derrida bagian dari kelompok penulis Hermeneutik. Akan tetapi,
dari beberapa literatur dan komentator mengatakan bahwa ia justru
anti-hermeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra
mengklasifikasikannya di antara kritikus sastra, meskipun ia sendiri
mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf ataupun sastrawan.
Ia sering kali disebut juga sebagai seorang poststrukturalis, meski ia sendiri
menyangkal kecenderungan strukturalis (Sumaryono, 1993: 109 dlm Listiyono
Santoso, dkk, 2003). Dalam penulisan singkat ini, akan menguraikan tentang: pertama: refleksi historis pemikiran
Jacques Derrida, kedua:
ketidaksepahaman Derrida terhadap metafisika dan epistemologi modern, ketiga: dekonstruksi sebagai kunci
pemikiran Derrida, dan keempat:
dekonstruksi sebuah metode. Yang akan diuraikan selanjutnya.
Refleksi Historis Pemikiran Jacques
Derrida
Sejak Derrida muncul dipermukaan sebagai
tokoh yang anti modernitas sekaligus tokoh yang provokatif, membuat
pemikirannya terkenal dikalangan cendikiawan khususnya ilmuan prancis. Derrida
sejak kecil, telah membaca beberapa karya filosof terdahulu, sebut saja
Nietzche. Beberapa literatur juga, menyebutkan bahwa ia senantiasa membaca
karya-karya filosof ternama seperti, Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Hegel,
Freud, Heidegger dan Husserl (Listiyono, dkk,,2003). Dari pengaruh beberapa
tokoh diatas, sehingga Derrida lahir dengan pemikirannya sendiri. Ia membaca
sebuah karya terdahulu, kemudian mencanangkan pemikiran baru dan bahkan melalui
pembacaan tersebut, ia tidak sepahaman dengan hasil yang telah dibacanya.
Refleksi historis pemikiran Derrida, tidak
terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh filosof barat, terutama pengaruh dari fenomenologi
Husserl dan strukturalisme Saussure dan Levi-Straus (Heri Santoso.,dkk, 2003).
Sehingga ia dicanangkan sebagai tokoh hermeneutis. Akan tetapi, dari beberapa
komentator menyebutkan bahwa Derrida tersebut paling anti dengan hermeneutis.
Hal ini serupa dengan hasil karyanya yang terkenal dengan judul margane de la philoshopie
(penggiran-pingiran filsafat) (1972). Menurut F. Budi Hardiman, 2014, pemikiran
Derrida masuk dalam kategori pemikiran postmodernisme dan poststrukturalisme,
hal ini tidak bisa dipungkiri lagi, sebab Derrida sangat menghargai yang
namanya relatifisme dan pluralisme yang notabenenya penantang dari pemikiran
yang terstruktur. Dikatakan pemikiran yang terstruktur, karena filsafat barat
terjebak dalam pemikiran pendikotomian realitas. Menurutnya, cara berpikir
seperti ini tidak akan membuat pemikiran kita berkembang, melainkan sebuah
kekosongan belaka.
Secara
historis, Derrida tidak terlepas dari pengaruh fenomenologi Husserl sepanjang
berbicara mengenai interpretasi makna. Akan tetapi, Derrida tidak pernah
terjebak dalam pemikiran filsafat fenomenologi, melainkan sebuah kritik yang
pedas terhadapnya. Selain itu, tokoh yang ikut mempengaruhi pemikiran Derrida
adalah Heidegger, sebab ia (Derrida) seorang tokoh yang kritis terhadap
pemikiran tersebut, sehingga dicanangkan pada dirinya sebagai anti-hermeneutik.
Derrida merupakan seorang tokoh komentator atas pemikiran filsuf terdahulu
seperti, Plato, Aristoteles, Heidegger, Husserl, dan beberapa ilmuan seperti
Saussure dan Levi Strauss. Kritik yang dialamatkan Derrida terhadap beberapa
tokoh dan ilmuan tersebut yang dikemas dalam metode dekonstruksi, melahirkan
sebuah ketidaksepahaman Derrida terhadap metafisika dan epistemologi modern.
Sebenarnya berakar dari logika Aristotelian, yang mengajarkan tiga prinsipium,
yaitu: (1) hukum identitas: “suatu hal sama dengan dirinya sendiri”; (2) hukum
kontrakdiksi: “suatu hal tidak mungkin benar dan salah pada saat yang sama”;
(3) hukum penyisihan jalan tengah atau tidak ada jalan tengah: “segala sesuatu
dinyatakan sebagai hal tertentu, atau tidak sama sekali” (Heri Santoso, dkk,
2003).
Logika Aristotelian telah mengungkung para pemikir barat untuk mencari kebenaran tunggal, umum dan mutlak, logika seakan-akan telah mewakili realitas. Dalam konteks seperti ini, Derrida telah berjasa besar dalam menyadarkan manusia tentang bahayanya pemikiran tersebut. Derrida juga menyadarkan masyarakat modern bahwa modernitas atau modernisasi bukanlah satu-satunya cara untuk memanusiakan manusia.
Sehingga tidaklah Derrida menjadi seorang ahli kritikus yang menantang sebuah model pemikiran yang tidak ada faedahnya artinya ia mengkritik model pemikiran yang memiliki dasar yang ingin dikritik, seperti yang dicanangkan olehnya terhadap pemikiran filsafat barat yang notabenenya model pemikiran terstruktur. Atas dasar inilah, Derrida lahir dari ketidaksepahamannya terhadap model pemikiran terdahulu, sehingga Derrida memiliki nilai flas tersendiri yang melahirkan pemikiran baru dari hasil komentarnya terhadap model pemikiran modern. Kelebihan pemikiran Derrida tidak lain dan tidak bukan adalah upayanya mencari pemikiran nilai alternatif di tengah-tengah nilai yang sudah ada. Hal ini akan memacu dinamika, serta merangsang manusia utuk mencari nilai lain yang “lebih baik”, “lebih benar”, “lebih mendalam”, serta bisa menjawab problem dasar kemanusiaan (Suyoto, dkk, 1994: 305 dalam Listiyono, dkk, 2003).
Sebagai seorang tokoh postmodern dan poststrukturalisme, pemikirannya, tidaklah menjadi sebuah model yang sempurna, melainkan memiliki kelemahan tersendiri, seperti, terjebak sebuah model pemikiran yang tidak pasti, ambigu, maupun nihilisme. Akan tetapi, hal ini tidak menjadi persoalan sebab, menyoal hal itu, model pemikiranya sudah seperti itu yang mendorong pemikiran yang mengalami dinamika secara terus-menerus. Sehingga tidaklah Derrida dikatan sebagai tokoh yang mencontek pemikiran yang sudah ada. Karakter seperti ini, sangatlah pas jika dicanangkan oleh tokoh lain terhadapnya sebagai tokoh yang memiliki karakter tersendiri, itulah sebuah model pemikiran dekonstruksi. Tidaklah buruk bagi Derrida dialamatkan dirinya sebagai pemikir yang tidak konsistensi terhadap realitas sebab, dengan cara ini, ia mengajarkan sebuah epistemologi kekinian yang menolak totalitarianisme pada segala sistem atau bidang yang ada.
Logika Aristotelian telah mengungkung para pemikir barat untuk mencari kebenaran tunggal, umum dan mutlak, logika seakan-akan telah mewakili realitas. Dalam konteks seperti ini, Derrida telah berjasa besar dalam menyadarkan manusia tentang bahayanya pemikiran tersebut. Derrida juga menyadarkan masyarakat modern bahwa modernitas atau modernisasi bukanlah satu-satunya cara untuk memanusiakan manusia.
Sehingga tidaklah Derrida menjadi seorang ahli kritikus yang menantang sebuah model pemikiran yang tidak ada faedahnya artinya ia mengkritik model pemikiran yang memiliki dasar yang ingin dikritik, seperti yang dicanangkan olehnya terhadap pemikiran filsafat barat yang notabenenya model pemikiran terstruktur. Atas dasar inilah, Derrida lahir dari ketidaksepahamannya terhadap model pemikiran terdahulu, sehingga Derrida memiliki nilai flas tersendiri yang melahirkan pemikiran baru dari hasil komentarnya terhadap model pemikiran modern. Kelebihan pemikiran Derrida tidak lain dan tidak bukan adalah upayanya mencari pemikiran nilai alternatif di tengah-tengah nilai yang sudah ada. Hal ini akan memacu dinamika, serta merangsang manusia utuk mencari nilai lain yang “lebih baik”, “lebih benar”, “lebih mendalam”, serta bisa menjawab problem dasar kemanusiaan (Suyoto, dkk, 1994: 305 dalam Listiyono, dkk, 2003).
Sebagai seorang tokoh postmodern dan poststrukturalisme, pemikirannya, tidaklah menjadi sebuah model yang sempurna, melainkan memiliki kelemahan tersendiri, seperti, terjebak sebuah model pemikiran yang tidak pasti, ambigu, maupun nihilisme. Akan tetapi, hal ini tidak menjadi persoalan sebab, menyoal hal itu, model pemikiranya sudah seperti itu yang mendorong pemikiran yang mengalami dinamika secara terus-menerus. Sehingga tidaklah Derrida dikatan sebagai tokoh yang mencontek pemikiran yang sudah ada. Karakter seperti ini, sangatlah pas jika dicanangkan oleh tokoh lain terhadapnya sebagai tokoh yang memiliki karakter tersendiri, itulah sebuah model pemikiran dekonstruksi. Tidaklah buruk bagi Derrida dialamatkan dirinya sebagai pemikir yang tidak konsistensi terhadap realitas sebab, dengan cara ini, ia mengajarkan sebuah epistemologi kekinian yang menolak totalitarianisme pada segala sistem atau bidang yang ada.
Ketidaksepahaman Derrida Terhadap Metafisika dan Epistemologi Modern
Sangatlah
tepat, jika Derrida dikatakan seorang pemikir yang paling koheren pada
bidangnya yakni sebuah kritik yang pedas dialamatkan pada tokoh filsafat barat
terdahulu. Atau sangatla tepat, jika ia dikategorikan sebagai tokoh yang provokatif
terhadap model pemikiran yang sudah ada sebab, itulah ia, yang tidak senang
terhadap model pemikiran yang terstruktur. Dikatakan terstruktur, sebab,
filsafat barat terjebak dalam model pemikiran pendikotomian realitas, ruang,
asal-usul maupun eksistensi. Salah satu ciri pemikiran yang dikritik oleh
Derrida yakni, pemikiran yang bersifat oposisi-oposisi biner seperti,
hadir/absen (tidak hadir), menulis/membaca, siang/malam, invidu/masyarakat,
atau bahkan domestik/publik, dan seterusnya (F. Budi Hardiman, 2014). Hal
inilah yang menjadi tolak ukur asal-usul pemikiran Derrida, walaupun masih
banyak lagi yang melatarbelakanginya.
Sebagai tokoh yang koheren terhadap komentator filsafat barat, Derrida tidak sepaham dengan model pemikiran filsuf barat khususnya terhadap metafisika kehadiran dan epistemologi modern (Listiyono, dkk, 2003). Usaha Derrida untuk mendekonstruksi filsafat modern pertama-tama adalah dengan mengkritik pandangan metafisika dan epistemologi modernisme. Menurutnya, seluruh tradisi pemikiran barat sangat dipengaruhi oleh metafisika kehadiran. Artinya, bahwa konsep atau teori telah dianggap mewakili ada (being). Pencarian (being) seakan-akan mencukupi jika sudah ditemukan konstruksi pemikiran yang dianggap merupakan pengungkapan dari (being). Kata, tanda atau konsep seakan-akan telah menunjukkan atau menghadirkan being.
Pada rana pemikiran Barat, selalu menunjukkan terjadinya pertarungan pemikiran antara mitos dan logis. Oleh sebab itu, cara berpikir filsuf barat yang melahirkan pendikotomian semacam itu melahirkan sebuah penindasan sebab, kalimat yang pertama menjadi lebih berarti dari kalimat yang kedua. Atau dengan kata lain, tanda, konsep atau teori telah melahirkan ada (being) (Listiyono, dkk, 2003). Selain itu, pemikiran Barat, pada zaman modern yang bersifat logis, nampak telah menguasai alam pikiran manusia. Mereka telah berdebat tentang dasar-dassar, asal-usul, eksistensi, subtansi, hakikat, subjek, asas-asas, transendental, kesadaran atau suara hati, dan Allah, manusia dan seterusnya, mereka beranggapan dengan menghadirkan sebuah konsep atau teori semacam itu, maka telah hadir pulalah realitas dan bahkan, manusia telah menguasai realitas. Dikotomi realitas, subjek-objek, tuhan-Allah, siang-malam dan seterusnya, mendorong model pemikiran yang logis atau logosentrisme. Pemikiran semacam ini, menurut Derrida sangat penting sebab, berkaitan dengan sentralitas kehadiran. Pikiran kita didasarkan nilai “kehadiran”. Kita “menunjukkan”, “mengungkapkan”, “menjelaskan”. Hal ini didasarkan pada fondasi, asal-usul, atau semacam “kehadiran” pada akar dari sejumlah hal. Dengan kata lain, konsep dari dikotomi realitas tersebut melahirkan sebuah konsep atau teori (being), atau bahasa Derrida sebagai “metafisika kehadiran” ( Derrida, 1998: 49 dalam Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams, 2009).
Akan tetapi, dibalik dari model pemikiran tersebut (Logosentrism), telah mendominasi konsep totalitas dan konsep esensi (Santoso, 1992: 62). Dikatakan konsep totalitas, karena sebuah ide yang menyatakan bahwa realitas adalah satu/tunggal, sehingga pemikiran sulit untuk berkembang. Konsekuensinya adalah bentuk penindasan, sebab memaksa pemikiran manusia masuk kedalam sebuah sistem. Sedangkan konsep esensi adalah bentuk konsep tentang sesuatu yang menimbulkan harus diakui, konsekuensinya adalah dogmatisme dan legitimasi kekuasaan rasio. Bentuk contoh sebuah model pemikiran logosentrisme adalah dapat dilihat dalam masyarakat kapitalisme yang orientasi-orientasinya dan prosedur-prosedur praktisnya merupakan pertautan rumit antara pengakuan dan kesewenangan. Contoh lainnya, dapat dilihat dari bentuk hegemoni kekuasaan terhadap realitas yang tertindas. Menurut Derrida, logosentrism sekurang-kurangnya mengandung dua ciri utama, yakni: pertama; prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai suatu orientasi yang paling umum. Kedua; prosedur-prosedur itu harus merupakan suara yang berdaulat yang tidak lagi dapat dipermasalahkan atau diperdebatkan (Hadiwinata, 1994: 23).
Konsekuensi dari model pemikiran logosentrisme mendorong juga berimplikasi terhadap epistemologi, khususnya epistemologi modern. Ciri yang paling mendasar dari epistemologi modern adalah pendikotomian subjek-objek. Hasil dari dikotomi semacam ini, membuahkan hasil bahwa yang pertama adalah pusat, asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedangkan yang kedua hanyalah sebagai derivasi, manifestasi pinggir, dan sekunder dalam kaitanya dengan yang petama (Sahal, 1994: 12). Dengan kata lain, mengingat sebuah konsep yang pertama tidak bisa dapat dijelaskan tanpa adanya konsep yang mempengaruhinya misalnya, sebut saja kalimat hadir, dikatakan hadir karena ada kalimat luarnya yakni tidak hadir (absen) atau kalimat lawanya. Sehingga pemikiran semacam ini, tentunya mendorong sebuah konsep pendominasian terhadap kalimat yang keduanya selama berhubungan yang pertama. Kebernaran demikian sangatlah berbahaya, sebab akan menjadi tempat persembunyian kepentingan kekuasaan antara pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya.
Dalam perspektif Derrida, filsafat cenderung mencari kebenaran absolut, sehingga meninggalkan pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun sebuah konsep dengan teori. Yang demikian ini, menurut Derrida harus didekonstruksi (dibongkar), mengingat kebenaran absolut, tunggal dan mutlak itu tidak ada melainkan hanya sebuah “bekas” atau “jejak” (trace) dari setiap pemaknaan manusia. Filsafat percaya bahwa konsep dan teori telah mampu merepresentasikan kebenaran seperti apa adanya. Karena itu, praksis dan etika kehidupan publik manapun harus mendasarkan dirinya diatas konsep filosofis yang kuat atas klaim kesahihannya. Demikiannlah yang diyakini oleh filsuf seperti, Plato, Hegel, Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Listiyono, dkk, 2003).
Menurutnya (Derrida), menginginkan sebuah kebenaran tidak harus dibatasi dalam kebenaran mutlak, tunggal, dan universal, sebab dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat plural, partikular dan relatif. Untuk merealisasikan pemikirannya atau gagasannya terhadap realitas sekaligus kritik terhadap modernitas, Derrida memperkenalkan sebuah model pemikiran pembongkaran makna-makna atau metode membaca realitas, yang bahasa Derrida sebutkan dengan nama “Dekonstruksi”.
Dekonstruksi Sebagai Kunci Pemikiran Derrida
Sebagai
seorang yang kritikus yang anti dengan filsafat terdahulu, Derrida mempunyai
cara tersendiri yang digunakan untuk mengkritik dan bahkan membongkar sebuah
realitas yang terdistorsi. Sangatlah tepat jika, ia dialamatkan sebagai tokoh
yang paling propokatif terhadap model pemikiran barat sebelumnya sebab, diawal
tadi telah diuraikan secara singkat bahwa Derrida tidak sepaham dengan model
pemikiran barat khususnya pada bidang metafisika dan epistemologi. Sebagai
seorang teoritikus, Derrida tidak begitu saja mendapatkan sebuah model
pemikiran, melainkan sebuah sejarah panjang yang dialaminya, atau memiliki
pemikiran sendiri sebagai bentuk komentator dari epistemologi terdahulu.
Sejarah yang panjang, seorang pemikir atau teoritikus, tentunya mendapatkan ide dari sebagian pemikir lainnya atau pemikir terdahulu. Tidak terkecuali Derrida, mendapatkan idenya dari sebuah model pemikiran filsafat fenomenologi Husserl dan Heidegger sepanjang berbicara mengenai interpretasi (makna) dan bahasa dari language games dari Wittgenstein (Listiyono, dkk, 2003). Menurut fenomenologi Husserl, penjelasan sebuah pemaknaan, dimana makna diasumsikan dapat diperoleh pada suatu wilayah yang pasti yang dapat dikenal langsung (Unmediated). Karena wilayah ini dapat dikenal langsung, maka dengan sendirinya ia tampak sebagai suatu “kehadiran” (presence) pada persepsi kita. Bagi Husserl, dengan dasar keadaan seperti ini, akan sangat memungkinkan ditemukan bentuk ekspresi murni dari realitas sebagai dunia penghayatan sehari-hari (lebenswel) (Awuy, 1993: 104 dalam Listiyono, dkk, 2003).
Logika seperti inilah yang mengungkung sebuah pemikir barat pada umumnya, menjelaskan realitas dengan konsep tunggal, objektif, dan universal. Derrida tidak sepakat dengan model logika semacam itu, sebab menurutnya, realitas tidak dalam bentuk yang tunggal atau semacam konsep yang berakhir. Melainkan sebuah bekas atau jejak (trace) dari sebuah pemaknaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, Derrida mengingatkan kita, bahwasanya pikiran kita, tidak berhenti pada titik sebuah konsep tunggal atau mengobjektifikasikan realitas, melainkan sebuah bentuk yang berdinamika yang dimana, tergantung dari pemaknaan seorang yang membaca realitas itu sendiri. Selain itu, dengan adanya cara berpikir yang digunakan Derrida seperti ini, mengingatkan pula sebuah realitas itu, tidak terstruktur melainkan, sebuah pluralitas dan relatifitas. Dengan ini, tidak sungkanlah seorang pemikir mengalamatkan Derrida sebagai tokoh yang konsisten pada bidang postmodernisme.
Sebagai seorang pemikir, tentunya Derrida tidak terlepas dari komentar-komentarnya terhadap pemikir lainnya. Sebut saja, kritikus mazhab Frankfur, Derrida pernah berdiskusi dengan salah seorang teoritikus mazhab frankfur sebut saja Habermas. Hasilnya bahwa, Derrida tidak sepaham dengan pendapat Teori Kritik Mazhab Frankfur sebab, logikanya masih melanjutkan cara-cara yang digunakan oleh pemikir barat pada umumnya. Singkatnya, sebuah model pemikiran Derrida adalah bentuk diskontiunitas dari model pemikiran barat atau logika modernisasi (Lubis, 2015).
Dengan adanya diskusi panjang maupun bentuk kritik pedas yang dialamatkan oleh pemikiran modern pada umunya, Derrida memiliki sebuah model tersendiri. Mengingat, sebuah model pemikiran tersendiri mencermincan pluralitas pemikiran yang dialamatkan oleh para ahli. Atau dengan kata lain, sebuah paradigma tersendiri yang dimiliki oleh masing-masing para ilmuan khususnya pada bidangnya masing-masing. Kunci dasar pemikiran Derrida adalah sebuah model pemikiran yang tidak terstruktur atau metode tafsir atau sebuah metode pembongkaran tiada akhir, akan tetapi bukan sebuah metode tafsir semata apalagi sebuah metode bembongkaran konsep tiada akhir. Melainkan sebuah metode membaca atau membongkar realitas yang sudah ada, kemudian menyusunnya kedalam interpretasi masing-masing pemikiran kita. Singkatnya, sebuah metode (Dekonstruksi) atau membongkar terhadap realitas yang ada atau teks-teks yang ada. Sehingga konsepnya bertentangan dengan logika modernisasi. Untuk lebih jelasnya mengenai dekontruksi sebagai metode maupun kunci dasar pemikiran Derrida, maka akan diuraikan lebih lanjut.
Dekonstruksi Sebagai Metode
Berbicara
dekonstruksi, Derrida awalnya menggugah sebuah oposisi-oposisi biner filsafat
barat. Pasalnya, sebuah teks awal yang mewakili realitas menurut Derrida bisa
menciptakan sebuah penindasan. Sehingga menurutnya perlu adanya pembongkaran
teks. Dalam metode dekonstruksi, Derrida, memberi kesempatan sebuah peristiwa
yang tertindas atau memberikan kesempatan bagi peristiwa-peristiwa pinggiran
untuk berbicara. Oposisi-oposisi biner filsafat barat yang didekonstruksi
Derrida adalah sebuah peristiwa pendikotomian realitas, seperti; jiwa-tubuh, esensi-eksistensi,
umum-khusus, publik-domestik, kaya-miskin, dan masih banyak lagi yang bersifat
oposisi-oposisi biner. Dengan anggapan bahwa yang pertama adalah pusat,
asal-muasal, dan fondasi. Sedangkan yang kedua adalah derivasi, manisfestasi,
pinggiran, dan sekunder yang sesuai dengan yang pertama. Anggapan seperti
inilah yang dianggap oleh Derrida dapat menyebabkan ketidakadilan dalam
peristiwa atau realitas, sehingga menyebabkan makna marginalisasi dalam realitas
tersebut. Olehnya itu, menurutnya perlu adanya pembongkaran makna
(dekonstruksi) dalam teks-teks pinggiran tersebut, untuk memberikan kesempatan
birbicara. Pasalnya, peristiwa atau realitas pinggiran tersebut memiliki
pemaknaan yang sama terhadap yang awal atau primer. Dengan kata lain, pendikotomian
realitas tersebut yang dianggap primer dan sekunder, sebenarnya memiliki makna
yang sama, sehingga tidak ada pemaknaan yang bersifat marginalisasi atau bahkan
terdistorsi. Sebagai contoh, kaya-miskin, kalimat kaya tidak akan mungkin hadir
dalam permukaan jika tidak ada kalimat miskin, begitupula sebaliknya, dikatakan
miskin karena ada sang kaya, inilah yang dikatakan seluruh teks yang berbeda
memiliki kesamaan makna.
Derrida memulai dekonstruksinya pertama kali dengan memusatkan perhatian pada bahasa. Sikap ini diambil mengingat ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Bahasa telah mewakili realitas. Bahasa telah menjadi tempat persembunyian kepentingan. Bahasa menentukan prioritas suatu hal atas yang lain (Listiyono, dkk 2013). Pasalnya, sebuah bahasa memiliki perbedaan (difference), sehingga makna dalam realitas memiliki perbedaan, bukan konsep yang tunggal. Menurut Derrida, bahasa memiliki karakter difference. Ini berarti kata-kata (tanda) hanya merujuk pada tanda yang lain. Dan tidak pernah berakhir pada objek tertentu sebagai penjelasan final/penyimpul (Fahrudin Faiz, 2015). Ini menandakan bahwasanya sebuah realitas atau peristiwa itu tidak bersifat tunggal, melainkan sebuah definisi konsep pluralitas yang memadai.
Lebih lanjut, Derrida memulai dekonstruksi melalui dari tulisan, pasalnya sebuah realitas tidak terlepas dari teks atau dengan istilah Derrida yakni there is nothing outside of the text (tidak ada sesuatu pun yang diluar teks). Mengingat sebuah teks memiliki berbagai macam makna. Hal ini terjadi, karena sebuah teks adalah perbedaan makna (difference) atau penundaan. karena teks itu memiliki perbedaan makna, maka otomatis sebuah teks itu memiliki bebagai macam makna atau beribu macam makna tergantung siapa yang membacanya. Konsep lain, yang dikeluarkan oleh Derrida adalah “bekas atau jejak (trace). Konsep-konsep inilah yang menjadi pendukung untuk membongkar teks atau membaca teks yang ada.