BREAKING NEWS :
Loading...

Pergerakan Mahasiswa Yang Tertindas

Sudah telah tiba saatnya mahasiswa mendapatkan kebebasannya dalam berpikir agar benar-benar mencapai pencerahan yang tanpa paksaan. Tak pelak lagi, mahasiswa sangat di identikkan dengan kaum intelektual, cendikiawan muda, atau ekstrimnya lagi para calon filosof. Mahasiswa yang dikatakan sebagai agen of change, menempatkan dirinya sebagai orang atau aktor-aktor yang bebas dalam berpikir. Berbagai macam bentuk karakter mahasiswa, yang menyebabkan dirinya sebagai aktor-aktor pembaharu, pencipta keadaan, maupun mampu membuat rekayasa sosial yang bisa membuat dirinya menjadi lebih baik lagi. Pergerakan yang dilakukan para pelajar atau mahasiswa, tidak semestinya berbau kekerasan. Hanya saja, kalimat pergerakan orang sering menyangkutkan dengan kekerasan, jadi ada keterplesetan makna pergerakan itu sendiri. Sebagai seorang kaum intelektual, cendikiawan muda, atau calon pemikir, tentunya mahasiswa memiliki potensi untuk mengadakan perubahan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Dengan demikian, mahasiswa menjadi sebuah Pioneer untuk memberikan suasana baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Dengan kata lain, para pemuda (mahasiswa)-lah menjadi harapan sebuah lingkungan, baik ruang lingkup kampus maupun masyarakat luas.
Mahasiswa Sebagai Aktor Pencerahan
Meminjam kalimat dari seorang kritikus Mazhab Frankfurt yakni Adorno, Horkheimer dan Marcuse, dimana mereka menyakini bahwa hanya para intelektual (mahasiswa)-lah sebagai tombak pencerahan, dengan kata lain, mereka menempatkan para intelektual sebagai agen pencerahan. Hanya para intelektual lah yang bisa menjadi salah satu aktor pembebasan dari segala dominasi yang terdistorsi, sehingga mencapai hakikat pencerahan. Para intelektual (mahasiswa) telah dialamatkan dirinya sebagai aktor pencerahan, tentunya hal itu wajar saja, mengapa demikian? Sebab mahasiswa-mahasiswalah (kaum intelektual) yang paham dengan keadaan, baik dirinya maupun lingkungannya. Ketika mahasiswa sadar dengan hal itu maka, mahasiswa tentunya tidak menjadi aktor yang pasif, tidak menjadi aktor yang beku, melainkan menjadi aktor yang aktif lagi cair. Hal itu demikian benar adanya, sebab kaum intelektual sangat aktif menggunakan rasio nya untuk berpikir, sehingga menciptakan hal-hal yang baru lagi kreatif. Sama halnya dengan ketertindasan yang dirasakan oleh para intelektual pada khusunya didunia pendidikan, hal inilah yang mendorong dirinya untuk keluar dari hal tersebut sehingga menemukan eksistensinya sebagai seorang kaum pemikir, inilah yang dikatakan dialektika mahasiswa yang ingin mencapai pada pencerahan. Dengan demikian, kita bisa menarik sebuah benang merah bahwasanya seorang aktor pencerahan sangat dibutuhkan dari aktor-aktor yang memiliki pemikiran kritis yang bisa membongkar keadaan yang membelenggu, sehingga hal ini, dialamatkan pada para kaum intelektual (mahasiswa) sebab, merekalah yang mampu berpikir kritis, bukan seperti yang diakui oleh tradisi Marxisme yang menempatkan masyarakat proletar (bawah) sebagai aktor pencerahan padahal mereka adalah aktor-aktor yang tidak tahu dengan keadaan. Olehnya itu, kaum intelektual sebagai aktor pencerahan sangatlah pas dialamatkan kepada mereka.
Pergerakan Mahasiswa Yang Tertindas
Diawal tadi, penulis telah singgung bahwa pergerakan sangat diidentikkan pada tindakan kekerasan, tidak terkecuali pada mahasiswa itu sendiri. Artinya bahwa, mahasiswa yang melakukan pergerakan untuk membebaskan diri pada ketertindasan khususnya pada bidang pendidikan, tidak semestinya dialamatkan pada hal yang negatif, hanya saja kalimat pergerakan telah mengalami keterplesetan (istilah Derrida, pada dekonstruksi) pada maknanya. Pergerakan yang dimaksud dalam penulisan ini, sebenarnya pada konteks pergerakan yang membangun, lagi tanpa paksaan, terlebih lagi kekerasan. Artinya bahwa, pergerakan yang dilakukan mahasiswa, kita harus memaknai lebih pada kondisi inteleknya (akademis). Sehingga dalam pergerakan yang dibangun mahasiswa terdapat dua bentuk, yakni; pertama; pergerakan dalam bentuk anarkisme atau kekerasan. Dan kedua; pergerakan dalam bentuk akademisi (dialog rasional). Pada penulisan kali ini, kita alamatkan pada bentuk pergerakan yang kedua yakni dialog rasional (istilah Jurgen Habermas) dalam tindakan komunikatif. Pergerakan ini muncul dari bentuk dialektika dari mahasiswa itu sendiri. Dengan kata lain, mahasiswa mengalami problem pada dirinya atau mengalami ketertindasan, dari ketertindasan tersebut mahasiswa sadar akan hal itu, sehingga mendorong dirinya untuk keluar dari hal tersebut. Tak dipungkiri lagi, pergerakan mahasiswa yang dilakukan dalam bentuk akademisi, tentunya banyak macam bentuknya, hal ini dilakukan karena untuk mencapai pencerahan bebas paksaan (distorsi). Adapun bentuk-bentuk pergerakan mahasiswa yang berbau akademisi (dialog rasional) yakni; menyebarkan isu (wacana) ketertindasan yang tujuannya pencerahan, literasi (membaca), dialog rasional (saling berargumen), menulis berbagai bentuk penindasan khususnya pada bidang pendidikan yang disebarkan melalui berbagai teknologi informasi, serta sharing kompetensi sebagai manifestasi diskusi bebas paksaan. Semua bentuk pergerakan yang dilakukan mahasiswa tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mencapai pencerahan yang bebas dari paksaan (distorsi), sehingga tercapai kemerdekaan dalam berpikir. Pergerakan ini juga menurut penulis bersifat rasional, sebab dilakukan pada tempat, ruang publik yang dimana ruang publik ini bersifat dunia hidup (life word) yang berbagai macam argumen serta interpretatif makna yang dikeluarkan oleh kelompok intelektual termasuk para dosen. Dengan demikian kita bisa tarik benang merahnya bahwa, pergerakan mahasiswa yang tertindas, sebagai manifestasi dari dialektika mahasiswa (intelektual) itu sendiri, yang dimana bentuk pergerakannya berbau halus tanpa kekerasan dan paksaan serta bersifat rasional, yang tujuannya tidak lain dan tidak bukan pencerahan bebas distorsi (paksaan). 


0 komentar:

Copyright © 2017 Wacana sosial